JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Memasuki kuartal akhir, harga-harga komoditas unggulan tanah air mengalami tren kenaikan. Yang tertinggi adalah harga batu bara dan minyak sawit atau crude palm oil (CPO). Faktor penyebabnya adalah permintaan global yang tinggi.
Harga batu bara acuan (HBA) selama tahun ini terus merangkak. Hingga kemarin mencapai angka 161,63 dolar AS per ton yang merupakan tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Pada September, HBA masih berada di angka 150,03 dolar AS per ton. Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi menyebutkan, kenaikan itu dipengaruhi meningkatnya permintaan batu bara di Cina.
"Kebutuhan meningkat untuk keperluan pembangkit listrik yang melampaui kapasitas pasokan batu bara domestik. Selain itu, permintaan batu bara dari Korea Selatan dan kawasan Eropa juga naik. Ini seiring dengan tingginya harga gas alam," ujar Agung, Rabu (6/10).
HBA sempat melandai pada Februari– April 2021, kemudian mengalami kenaikan beruntun pada periode Mei–September 2021. Kenaikan tersebut diprediksi konsisten hingga akhir tahun ini.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia Wiguna mengatakan bahwa pelaku usaha tidak memprediksi peningkatan harga batu bara. Dia pun menyebut sebagai golden period. Peningkatan selling price itu dinikmati oleh berbagai pihak.
"Dua belas bulan naik berkali lipat, ini di luar prediksi. Tidak hanya pelaku usaha, tapi ekosistem industri batu bara juga menikmatinya. Negara pun mendapatkan penerimaan yang melonjak," ujarnya.
Hendra membeberkan bahwa dari sisi profitabilitas, rata-rata selling price kuartal III tahun ini lebih bagus dibandingkan periode sama pada tahun lalu. Kuartal IV mendatang juga diprediksi masih positif. "Jadi, ini dampak positif yang mendorong perekonomian kita," bebernya.
Bagaimana potensi peningkatan produksi dalam memanfaatkan momen tersebut? Hendra mengatakan, hal itu tidak bisa langsung dilakukan. Sebab, harus melalui proses pengajuan revisi rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) kepada pemerintah.
"Itu bisa dilakukan di akhir kuartal kedua 2021. Sampai saat ini beberapa perusahaan yang merivisi RKAB juga belum mendapat persetujuan dari pemerintah. Jadi salah satu faktor pengusaha belum bisa memaksimalkan penuh harga komoditas," urainya.
Bukan hanya komoditas batu bara yang menikmati kenaikan di level global. Minyak sawit alias crude palm oil (CPO) juga baru saja memecahkan rekor. Rabu (6/10) di bursa berjangka Malaysia sebagai acuan harga internasional, harganya sudah mencapai level 4.781 ringgit Malaysia per ton. Angka tersebut merupakan yang tertinggi dalam 25 tahun terakhir. Hal itu disebabkan permintaan internasional yang naik seiring kebijakan positif negara-negara tentang CPO.
Managing Director Triputra Agro Persada Tbk Sutedjo Halim mengatakan, kenaikan tersebut memang membuat pihaknya sebagai produsen dan petani meraih profit besar. Namun, dia menegaskan bahwa pelaku usaha di sektor tersebut harus memanfaatkan momen itu untuk menciptakan industri yang lebih berkelanjutan.
"Hingga saat ini, minyak sawit masih dianggap sebagai salah satu penyebab utama deforestasi. Karena itu, kita harus membuktikan bahwa industri minyak sawit bisa berjalan tanpa melukai alam," katanya dalam Konferensi ESG Indonesia 2021.
Dia mengatakan, potensi minyak sawit masih besar. Sebab, belum ada komoditas lain yang bisa mengalahkan CPO dalam penyediaan produk minyak nabati. Produksi CPO bisa mencapai 3,5 ton per hektare. Sementara itu, minyak nabati lainnya seperti bunga matahari hanya menghasilkan 0,7 ton per hektare.
"Yang menjadi pekerjaan rumah adalah bisa mematuhi operasional sesuai standar lingkungan, baik tingkat nasional maupun global. Sehingga, produsen tak perlu lagi khawatir dengan adanya pengetatan standar atau kebijakan," paparnya.(dee/agf/bil/c6/dio/jpg)